ANAKKU “ANAK PACU”
(Pemenang I Lomba Penulisan Cerpen SMA se-Riau)
(Pemenang I Lomba Penulisan Cerpen SMA se-Riau)
Siang yang terik seakan menunjukkan keperkasaan mentari yang sepertinya tak mengerti dengan keadaan berjuta manusia di bumi jalurku ini. Dalam desakan rapat lautan manusia aku masih mencoba untuk bisa sampai ke tempat yang nyaman untukku bisa duduk manis, sambil menyantap makanan yang ada dalam tasku. Sudah menjadi kebiasaanku, sebelum sampai ditribun bagian depan aku tidak akan puas. Masih begitu dan begitu terus yang kualami setiap kali di kotaku ini melaksanakan pesta budaya atau yang disebut Pacu Jalur ini. Yang disebut Pacu Jalur disini adalah balap sampan sepanjang kira-kira 30 meter atau yang disebut jalur. Jalur memiliki lebih dari 40 orang pendayung yang disebut anak pacu.
Setelah beberapa menit berdesakan, akhirnya aku menemukan tempat yang begitu strategis di tribun depan bagian kanan ini. Tepat disamping seorang bapak yang terlihat diam tak berekspresi. Hal yang tak biasa kujumpai dalam acara semacam ini, acara yang hampir kupastikan semua orang akan sekuat tenaga menyemangati jalur andalan mereka. Setelah duduk disampingnya beberapa menit, akuhanya diam, aku makin penasaran dan aku bertanya.
“Maaf, Pak. Sepertinya bapak terlihat murung. Di acara semeriah ini mengherankan ada seorang yang termangu. Adakah sesuatu yang mungkin bisa saya bantu, Pak?”
“Tidak ada apa-apa, Nak. Bapak sedang kurang bersemangat saja.”ujar Bapak itu datar.
“Oh, baiklah kalau Bapak tidak mau cerita.” Aku membalas tanggapan Bapak itu dengan lebih cuek. Tanpa kata aku menyodorkan makanan dari tasku kepada Bapak itu. Dengan gelengan lemahnya aku segera tahu untuk harus tetap diam saja padanya. Walaupun masih penasaran, aku melahap makanan yang kubawa tadi sambil melayangkan pandangan ke depan sana. Terlihat dua buah jalur yang beradu cepat disana.
***
Malam itu Bujang baru sampai dirumah, dia adalah seorang mahasiswa di Jakarta. Ia pulang karena sudah beberapa bulan tidak pulang kampung, sekaligus ingin memberitahu kepada kedua orang tuanya mengenai penyakit ginjal yang ia idap. Ia baru mengetahui adanya penyakit itu setelah beberapa minggu yang lalu ia memeriksakannya.
“Ayah, ada hal penting yang ingin Bujang katakan.” Kata Bujang ketika sudah berhadapan dengan ayahnya.
“Hmm… Tapi sebelum kamu mengatakannya, Ayah ingin menyampaikan pesan dari kakekmu ketika kemarin dia mendengar kamu akan pulang.” Kata Ayah si Bujang.
“Kalau memang begitu, katakan saja apa yang dipesankan Kakek, Ayah.” Ujar Bujang.
“Begini, Nak. Seminggu lagi Pacu Jalur akan dimulai. Kakekm ingin melihatmu menjadi anak pacu tahun ini. Meski bagaimana nanti hasilnya, yang terpenting ia ingin melihatmu berpacu. Ia ingin kamu seperti dia dan ayah dulu. Selain mantan anak pacu, tahun ini kakekmu juga menjadi pembuat jalur kampung kita. Jadi ia sangat berharap kamu bersedia menjadi anak pacu.” Ayahnya menjelaskan perihal tersebut.
Ayah si Bujang kemudian bertanya “Jadi, bagaimana ? Kamu mau menjadi anak pacu ? Kali ini saja tidak apa-apa, setelah itu baru kamu bisa kembali ke Jakarta.”
Karena kaget dan bingung dengan apa yang disampaikan ayahnya itu, Bujang menunduk. Dalam pikiranya berkecamuk antara apakah ia menolak dan mengatakan perihal penyakitnya atau ia menyanggupinya dan tetap menyembunyikan perihal penyakit yang menyerangnya.
“Bujang, bagaimana ? Kamu bersedia menjadi anak Pacu ? Sebenarnya ayah sangat berharap kamu menyanggupi permintaan kakekmu. Ayah juga sangat ingin melihatmu mengayuh dayungmu digelanggang pacu. Walaupun tidak terlatih, tapi ayah yakin kamu bisa karena kamu sudah terbiasa mendayung dari kecil.” Kata Ayahnya mengagetkan Bujang yang sedang bingung.
“Hmm… Baiklah, Ayah. Aku akan ikut menjadi anak pacu sesuai permintaan Kakek.” Jawab Bujang sekenanya.
“Bagus, kalau memang kamu bersedia. Besok pagi kamu langsung ikut berlatih saja. Kakekmu pasti sudah menunggumu disana.” Kata Ayah si Bujang begitu gembira.
“Tapi, tadi kamu ingin mengatakan sesuatu pada Ayah. Perihal apa itu, Bujang” tanyanya lagi.
“Hmm…Tidak terlalu penting kok, Ayah.” Jawab Bujang gugup.
“Kalau begitu sekarang kamu cepat istirahat, siapkan energimu untuk besok.” Kata Ayah si Bujang.
“Baik, Ayah.” Jawab Bujang sambil meninggalkan ayahnya sambil terus menunduk, memikirkan bagaimana caranya dia mengatakan kepada ayahnya bahwa ginjalnya tak lagi berfungsi dengan baik. Sekaligus mengatakan bahwa dia tak boleh lagi melakukan kegiatan yang melelahkannya, tapi ia tak ingin mengecewakan kakeknya yang ingin melihat cucu satu-satunya ini mengangkat tangan mengacungkan pendayungnya di gelanggang pacu.
Malam itu, mata Bujang seakan ikut berkecamuk seperti pikirannya. Tidak mau terpejam, sampai lewat dari jam 2 dia baru bisa memejamkannya. Dia baru terbangun ketika kumandang adzan bersahutan diseantero kampung. Dengan mata yang setengah terpejam ia keluar kamar dan menuju tempat wudhu. Setelah shalat subuh, ternyata pikirannya masih belum tenang. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk segera pergi menuju tempat latihan anak-anak pacu kampungnya.
“Nah, itu dia Bujang. Kalau begitu dia bias menggantikan Ujang yang sekarang sedang sakit.” Begitu kata kakek ketika Bujang baru tiba di tempat latihan itu.
Bujang sudah mengenal mereka semua yang ada di tempat latihan itu, karenanya mudah saja ia bergabung dengan percakapan. Sampai akhirnya mereka memulai latihan pagi itu. Setelah latihan selesai, Bujang merasa sangat lemah.
“Bujang, kamu sepertinya pucat sekali. Kamu sakit ?” Tanya kakek Bujang khawatir
“Tidak, Kek. Mungkin kelelahan saja.” Jawab Bujang lirih. Dia tak ingin mengatakan yang sebenarnya pada kakeknya.
“Oh, kalau begitu cepatlah pulang dan segera istirahat. Besok kita masih latihan lagi.” Kata kakek Bujang.
“Iya, kek.” Jawab Bujang sambil berdiri. Bujang segera mempercepat langkah gontainya menuju rumahnya. Menguatkan keadaannya, meskipun ia sungguh-sungguh tersiksa.
Begitu setiap hari, sampai akhirnya hari yang ditunggu tiba. Meskipun Bujang sudah merasa keadaannya hampir tidak mungkin untuk ikut mendayung jalur, tapi ia masih ingin mewujudkan harapan kakek dan ayahnya itu. Dengan senyum pucatnya, ia menatap kakek dan ayahnya yang ada di barisan penonton di tribun itu sebelum jalurnya dilepas.
Terus mendayung, tak peduli lagi dengan semakin lemah dirinya. Bujang terus berusaha mengimbangi kekuatan teman-temannya. Sementara di barisan penonton, Ayah dan Kakeknya bersorak kegirangan, karena melihat jalur dari kampungnya itu melaju jauh meninggalkan lawannya. Sampai akhirnya jalur si Bujang masuk di pancang finish. Sementara semua anak pacu mengangkat dayungnya, terlihat satu anak pacu yang tertunduk lemah di jalur itu.
***
“Begitulah ceritanya, Nak. Sampai sekarang bapak sangat menyesali kejadian itu, Nak. Coba pada saat itu Bapak mendengar dulu apa yang ingin dikatakan si Bujang, hal itu pasti tidak akan terjadi.” terang Bapak yang ada dismpingku itu sambil menyeka air matanya.
“Sudahlah, Pak. Itu semua memang sudah ketentuan dari Allah. Bapak harus tetap bersabar, ya.” Jawabku menenangkan bapak itu.
Aku kembali melayangkan pandanganku ke arah jauh sana, tapi tatapku kini kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar