Pagi dingin hari baruku di luar kepompong emasku. Kukepakkan sayapku pelan. Aku baru dengan sayapku, mencoba menjelajah dunia hinggap lekat di permata sebuah mahkota. Pagi itu aku melihat Elfira mengangguk tertegun dengan kilatan keemasan mahkota tertempa mentari pagi, terkelebat kembali cerita-cerita mereka, cerita mereka sang permata mahkota metamorfosa.
Dalam kilauan keemasan itu tertera beberapa nama yang masih utuh jiwa mahkota metamorfosa sejati. Endang, Winda dan Desti masih tak bergeming lengkap layaknya kata yang jarang mereka ungkap, masih membungkam beribu berita dalam diri mereka sendiri. Kilat-kilat keeemasan itu kini terbaur terserak bersama kerling-kerling mentari pagi ini.
Selang waktu, Willa menghampiri gadis yang tertegun itu. Dengan bangganya menyampaikan berbagai informasi yang didapat dari Rezkia dan Rizka yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris. Mereka baru saja mendapat kabar bahwa Rico, Luli dan Tria baru saja mendapatkan hak paten atas beberapa Software terbarunya.
Apakah kau sadar? Saat terbaca olehmu cerita ini, adalah cerita lalu untuk 10 tahun di depan. Cerita ini adalah perjalanan hidup Metamorfosa sebuah mahkota yang telah bersayap indah, kini kembali hinggap di rimbun pohon homogen SMAN Pintar Kuantan Singingi. Ketika aku kembali mengembangkan sayap ke waktu yang lalu, di sana ada beberapa nama yang begitu gemulai mengolah gesturenya. Mereka adalah Laila, Friska, dan Lola. Tidak banyak yang kuingat, hanya saja banyak orang tercengang karena lengkukannya.
Aku sang mahkota metamorfosa masih terus mengembangkan sayap dalam sedu sedan masa, terlintas sebuah nama yang tak bungkam oleh dentum waktu, MY FANT GEN 09. Dengan jutaan permata-permata yang masih berada dalam kungkungan kepompongnya, meski di sana ada Eka Ardila Pandy yang terlanjur rapuh. Mereka layaknya pesona solek Resti, Sella atau Sity yang merona. Sementara masih dengan sayapku yang terlebar, dari balik jendela kecil itu kulihat Famber yang sibuk dengan berbagai larutan dan tabung reaksinya dalam ruang kecil yang mereka sebut Labor. Tak jauh dari sana, ada Darwan dan Wanti yang mengalunkan denting-denting kehidupan dengan merdunya.
Aku sang mahkota metamorfosa kembali melayang disela pepohonan hijau. Melayang merebakkan segar dan kenyamanan untuk Syukur, Zery, dan Ircham yang sedang kelelahan setelah menaburkan benih dan akar ke bumi untuk menghijaukannya. Sementara Lia masih asyik dengan kamera kecilnya di antara rimbunan pohon-pohon kecil itu. Bergabunglah bersama mereka Kiprah dan Raudha yang juga sedang penat dengan masalah defisit Kas kelasnya. Tidak hanya mereka, di sebalik rentetan daun ini Rifdah juga tengah sibuk dengan note-note kecilnya. Tak sengaja tertangkap di pupil kecilku, Elika dan Sonnya sedang terbaring mendongak memandang barisan awan sambil menggumamkan kata-kata bersajaknya.
Aku kembali melebarkan sayapku, dari kejauhan Rice, Yollanda dan Cindy tengah berlatih berjalan di Catwalk yang merupakan jalan kecil menuju kubah Hijau sakral itu. Hihi.. Bukan Catwalk sejatinya, tapi cukup untuk master modelling masa depan. Sementara di samping-samping jalan kecil itu ada Lilik dan Susanti yang sibuk mengapresiasi dan berkoar-koar tak jelas dengan seriusnya.
Dari pucuk ranting, sepasang indra penglihatku serasa tak mau lepas dari cepat sigapnya putri-putri mahkota yang berlaga itu. Nur Annisa dengan lompatannya, Wiwis dengan lemparannya dan Rika dengan 3 point shootnya yang begitu apik dan indah. Semua gerak dan gerik mereka sungguh masih dalam batas masa lampau yang terekam.
Kembali ke masaku sekarang, beberapa remaja telah berkerumun di sekeliling mahkota yang sedari tadi kuhinggapi. Tak salah lagi, aku mengenal beberapa diantaranya adalah politikus ternama negeri ini. Mereka adalah Yudha, Jessy dan Dian. Beberapa sosok kamera rakyat yang dikagumi.
Tak menghiraukan kerumunan itu, aku mulai melebarkan sayap indahku menuju ruang lain tempat ini. Tak perlu jauh melayang, aku menghampiri sebuah pintu tegar tertutup rapat. Dari lubang kunci kecil ini aku dapat mengintip siapa yang ada dibaliknya. Mereka adalah Efi, Welly dan Wulandari yang seperti sedang asyik berdebat mengenai angka-angka yang tertulis di whiteboard itu. Sedikitpun tak kumengerti, meski dulu aku sering mencuri dengar ketika Pak Feri atau Pak Welly sedang menjelaskan materi itu kepada mereka.
Langkah-langkah kaki terdengar mendekat, sayup dan semakin gamblang aku mendengar percakapan Lida dan Andayanis. Sungguh berita yang memang sangat aku tunggu, Kisna yang mempunyai bakat professor itu telah mematenkan penemuan terbarunya. Tak hanya itu, Ridho dan Delpa juga telah melambungkan mimpinya di belahan dunia ini dengan kalimat-kalimat preventifnya.
Puas sudah dengan mendengar perkembangan pelaku sejarah ceritaku, aku kembali melayangkan sayapku ke bilik-bilik sempit ruang memoriku. Layaknya tak pernah tersakiti oleh ceritaku, bagaimana mungkin itu akan ada sementara dalam ceritaku ada Devi dan Isra yang selalu sigap menetralisir rasa sakitku. Semua cerita ini layaknya skenario yang dibuat Rani dan Yolla dalam cuplik-cuplik gagasannya. Aku merasa tak kan pernah juga rasanya ceritaku ini menjadi seterjal relief bumi seperti kata Nurrahma Dewi.
Aku sang mahkota metamorfosa kembali melayangkan sayap indahku, meniti jembatan-jembatan konjugasi bakteri dalam praktikum Dhaniel, Gustri dan Betty. Benar tak ingin rasanya aku terus kembali ke masa lampau ini, tapi sungguh inilah cerita yang tak lekang oleh zaman seperti yang dikatakan Maysarah dalam sesenggukan air matanya kala itu. Mahkota metamorfosaku akan tetap melenggang melayang, begitu riangnya Ella, Wulan dan Dustri berkata pada hati para permata sayap-sayap sang mahkota metamorfosa itu dengan hati yang sesungguhnya juga tak kuasa.
Aku sang mahkota metamorfosa, dengarkanlah wahai permata-permata sayap indah MY FANT GEN 09. Jika engkau mengingat hari itu, dongakkan wajahmu ke arah barisan awan itu. 12 Juli 2009, hari dimana engkau disatukan dalam perbedaan, menyatukan berbagai problema. Rasakanlah hembusan sayapku, ingatlah kala engkau tertawa bersama, meleraikan air mata, melonjak girang, menunduk lemah. Sungguh aku adalah saksimu, akulah sang mahkota metamorfosa.
Akulah mahkota kupu-kupu itu wahai MY FANT GEN…
Dalam kilauan keemasan itu tertera beberapa nama yang masih utuh jiwa mahkota metamorfosa sejati. Endang, Winda dan Desti masih tak bergeming lengkap layaknya kata yang jarang mereka ungkap, masih membungkam beribu berita dalam diri mereka sendiri. Kilat-kilat keeemasan itu kini terbaur terserak bersama kerling-kerling mentari pagi ini.
Selang waktu, Willa menghampiri gadis yang tertegun itu. Dengan bangganya menyampaikan berbagai informasi yang didapat dari Rezkia dan Rizka yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris. Mereka baru saja mendapat kabar bahwa Rico, Luli dan Tria baru saja mendapatkan hak paten atas beberapa Software terbarunya.
Apakah kau sadar? Saat terbaca olehmu cerita ini, adalah cerita lalu untuk 10 tahun di depan. Cerita ini adalah perjalanan hidup Metamorfosa sebuah mahkota yang telah bersayap indah, kini kembali hinggap di rimbun pohon homogen SMAN Pintar Kuantan Singingi. Ketika aku kembali mengembangkan sayap ke waktu yang lalu, di sana ada beberapa nama yang begitu gemulai mengolah gesturenya. Mereka adalah Laila, Friska, dan Lola. Tidak banyak yang kuingat, hanya saja banyak orang tercengang karena lengkukannya.
Aku sang mahkota metamorfosa masih terus mengembangkan sayap dalam sedu sedan masa, terlintas sebuah nama yang tak bungkam oleh dentum waktu, MY FANT GEN 09. Dengan jutaan permata-permata yang masih berada dalam kungkungan kepompongnya, meski di sana ada Eka Ardila Pandy yang terlanjur rapuh. Mereka layaknya pesona solek Resti, Sella atau Sity yang merona. Sementara masih dengan sayapku yang terlebar, dari balik jendela kecil itu kulihat Famber yang sibuk dengan berbagai larutan dan tabung reaksinya dalam ruang kecil yang mereka sebut Labor. Tak jauh dari sana, ada Darwan dan Wanti yang mengalunkan denting-denting kehidupan dengan merdunya.
Aku sang mahkota metamorfosa kembali melayang disela pepohonan hijau. Melayang merebakkan segar dan kenyamanan untuk Syukur, Zery, dan Ircham yang sedang kelelahan setelah menaburkan benih dan akar ke bumi untuk menghijaukannya. Sementara Lia masih asyik dengan kamera kecilnya di antara rimbunan pohon-pohon kecil itu. Bergabunglah bersama mereka Kiprah dan Raudha yang juga sedang penat dengan masalah defisit Kas kelasnya. Tidak hanya mereka, di sebalik rentetan daun ini Rifdah juga tengah sibuk dengan note-note kecilnya. Tak sengaja tertangkap di pupil kecilku, Elika dan Sonnya sedang terbaring mendongak memandang barisan awan sambil menggumamkan kata-kata bersajaknya.
Aku kembali melebarkan sayapku, dari kejauhan Rice, Yollanda dan Cindy tengah berlatih berjalan di Catwalk yang merupakan jalan kecil menuju kubah Hijau sakral itu. Hihi.. Bukan Catwalk sejatinya, tapi cukup untuk master modelling masa depan. Sementara di samping-samping jalan kecil itu ada Lilik dan Susanti yang sibuk mengapresiasi dan berkoar-koar tak jelas dengan seriusnya.
Dari pucuk ranting, sepasang indra penglihatku serasa tak mau lepas dari cepat sigapnya putri-putri mahkota yang berlaga itu. Nur Annisa dengan lompatannya, Wiwis dengan lemparannya dan Rika dengan 3 point shootnya yang begitu apik dan indah. Semua gerak dan gerik mereka sungguh masih dalam batas masa lampau yang terekam.
Kembali ke masaku sekarang, beberapa remaja telah berkerumun di sekeliling mahkota yang sedari tadi kuhinggapi. Tak salah lagi, aku mengenal beberapa diantaranya adalah politikus ternama negeri ini. Mereka adalah Yudha, Jessy dan Dian. Beberapa sosok kamera rakyat yang dikagumi.
Tak menghiraukan kerumunan itu, aku mulai melebarkan sayap indahku menuju ruang lain tempat ini. Tak perlu jauh melayang, aku menghampiri sebuah pintu tegar tertutup rapat. Dari lubang kunci kecil ini aku dapat mengintip siapa yang ada dibaliknya. Mereka adalah Efi, Welly dan Wulandari yang seperti sedang asyik berdebat mengenai angka-angka yang tertulis di whiteboard itu. Sedikitpun tak kumengerti, meski dulu aku sering mencuri dengar ketika Pak Feri atau Pak Welly sedang menjelaskan materi itu kepada mereka.
Langkah-langkah kaki terdengar mendekat, sayup dan semakin gamblang aku mendengar percakapan Lida dan Andayanis. Sungguh berita yang memang sangat aku tunggu, Kisna yang mempunyai bakat professor itu telah mematenkan penemuan terbarunya. Tak hanya itu, Ridho dan Delpa juga telah melambungkan mimpinya di belahan dunia ini dengan kalimat-kalimat preventifnya.
Puas sudah dengan mendengar perkembangan pelaku sejarah ceritaku, aku kembali melayangkan sayapku ke bilik-bilik sempit ruang memoriku. Layaknya tak pernah tersakiti oleh ceritaku, bagaimana mungkin itu akan ada sementara dalam ceritaku ada Devi dan Isra yang selalu sigap menetralisir rasa sakitku. Semua cerita ini layaknya skenario yang dibuat Rani dan Yolla dalam cuplik-cuplik gagasannya. Aku merasa tak kan pernah juga rasanya ceritaku ini menjadi seterjal relief bumi seperti kata Nurrahma Dewi.
Aku sang mahkota metamorfosa kembali melayangkan sayap indahku, meniti jembatan-jembatan konjugasi bakteri dalam praktikum Dhaniel, Gustri dan Betty. Benar tak ingin rasanya aku terus kembali ke masa lampau ini, tapi sungguh inilah cerita yang tak lekang oleh zaman seperti yang dikatakan Maysarah dalam sesenggukan air matanya kala itu. Mahkota metamorfosaku akan tetap melenggang melayang, begitu riangnya Ella, Wulan dan Dustri berkata pada hati para permata sayap-sayap sang mahkota metamorfosa itu dengan hati yang sesungguhnya juga tak kuasa.
Aku sang mahkota metamorfosa, dengarkanlah wahai permata-permata sayap indah MY FANT GEN 09. Jika engkau mengingat hari itu, dongakkan wajahmu ke arah barisan awan itu. 12 Juli 2009, hari dimana engkau disatukan dalam perbedaan, menyatukan berbagai problema. Rasakanlah hembusan sayapku, ingatlah kala engkau tertawa bersama, meleraikan air mata, melonjak girang, menunduk lemah. Sungguh aku adalah saksimu, akulah sang mahkota metamorfosa.
Akulah mahkota kupu-kupu itu wahai MY FANT GEN…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar