Membuat catatan tangan (eh, footnote ya) di malam yang dingin, tanpa gemintang. Meski tak berlalu dalam kelam aku terlalu sibuk dengan telingaku yang pasti lebih sibuk dengan berbagai suara yang berdesakan mengirim impuls. Seandainya aku telinga, betapa lelah.
Bukannya mau ngelantur kemana kemari saja, tapi memang keadaan dan kondisinya sedang enak untuk diajak ngelantur sambil terbentur-bentur ke kontur-kontur kata yang tak teratur. Makin ngawur aja.
Kembali ke topik impuls yang berdesakan (flashback gitu), waktu yang seperti dan rasa-rasanya lengang ternyata telah menghimpit hingga tinggal berapa inci lagi aku pasti terjepit. Semoga sebelum itu terjadi aku sudah menemukan "AKAR" kehidupanku (weleehhh, novelnya mbak De'e ni).
Oh, iya Impulsnya lupa dibahas, kurang tertarik pada impuls dan lebih tergelitik untuk membahas relativitas. Ada yang khusus berarti ada yang umum juga, hehe. BUkan bermaksud mencela atau bagaimana terhadap datuk Einstein, tapi dengan teori yang satu ini dunia menjelang kehancuran.
Mengapa demikian daku berkata ? Kerana tak lain dan tak bukan, teori itu membangkitkan inovasi pembuatan senjata pembunuh massal. Yang jadi monyet percobaan pun Jepang (kok., monyet?) Walaupun hikmahnya baik untuk Indonesia, tapi radioaktifnya masih ter-smell orang-orang yang ada di sana. Padahal itu udah berapa tahun? Lama bukan? Bukan.
Jangan bingung dengan argumen ini, hanyalah sebuah intrik pengusir bosan plus sedikit mengistirahatkan telinga dengan lebih memfokuskan ke mata. Kasihan aku pada telingaku, disini terlalu ribut. Mataku, bukannya daku tak berkasihan, tak bermaksud daku berkasih pilih pada indra yang daku punya, hehe.
Sudahlah, ini bukan filosofi maupun kata-kata sang sufi. Saya hanya budak kecik nan senang bercuap tak sampai. Menyampaikan sedikit yang mendera di jantung. Terima kasih laptopku, aku selesai juga menulis cuap tak beralasan ini.
Alhamdulillah...
Rabu, 29 Februari 2012
Gores Air Mata Negeri
Kugoreskan tinta air mata
Sebaris kata mengucur tertahan
Oh, ini tentang negeriku
Negeriku dilanda krisis udara
Negeriku negeri bumi melayu
Bumi elok berselimut kelam kabut
Sedang dulu seantero tahu
Negeri melayuku benderang penyesap asap
Goreskan tinta air matamu
Ukirkan frasa-frasa tangis berirama
Oh, sadarkah anak negeri mati di gunduk permata
Tenggelam dalam kubang pekat kehidupan
Oh, negeri nama tinggalkan cerita
Sedang anak-anak bersorak menyeruak
Menggema, mengetarkan denting-denting pedih hidup mereka
Kamukah anak si putra tuan bernegeri?
Sadarkan tuanmu, anak negeri melara sendu
Torehkan sisa tinta air matamu
Larikkan frasa pengorbananmu
Oh, aku tak ingin negeriku hibernasi
Sementara aku kan singsingkan lenganku
Gores dan titikkan sisa air mata
Larutkan dengan bulir keringat prihatinku
Kamu dan aku putra negeri satu
Sungguh layak jikalau terbangun dan membangunkan
Ku goreskan tinta air mata
Aku masih punya kalimat-kalimat hebat
Oh, habis sudah tinta air mata
Tidak, negeri melayuku tak kan habis
Aku hamba negeri masih bersaksi
Tak melayu hilang di bumi
Sebaris kata mengucur tertahan
Oh, ini tentang negeriku
Negeriku dilanda krisis udara
Negeriku negeri bumi melayu
Bumi elok berselimut kelam kabut
Sedang dulu seantero tahu
Negeri melayuku benderang penyesap asap
Goreskan tinta air matamu
Ukirkan frasa-frasa tangis berirama
Oh, sadarkah anak negeri mati di gunduk permata
Tenggelam dalam kubang pekat kehidupan
Oh, negeri nama tinggalkan cerita
Sedang anak-anak bersorak menyeruak
Menggema, mengetarkan denting-denting pedih hidup mereka
Kamukah anak si putra tuan bernegeri?
Sadarkan tuanmu, anak negeri melara sendu
Torehkan sisa tinta air matamu
Larikkan frasa pengorbananmu
Oh, aku tak ingin negeriku hibernasi
Sementara aku kan singsingkan lenganku
Gores dan titikkan sisa air mata
Larutkan dengan bulir keringat prihatinku
Kamu dan aku putra negeri satu
Sungguh layak jikalau terbangun dan membangunkan
Ku goreskan tinta air mata
Aku masih punya kalimat-kalimat hebat
Oh, habis sudah tinta air mata
Tidak, negeri melayuku tak kan habis
Aku hamba negeri masih bersaksi
Tak melayu hilang di bumi
Angin Malam
Malam belum begitu mendengkur, hanya berupa desis-desis lirih. Beberapa hitungan satuan jarak, Angin masih sibuk dengan kertas-kertas yang bertumpuk tak bisa dikata rapi lagi. Malam dan Angin, mereka sepasang insan identik dalam fisik, spesialis emosi pasti tiada akan serupa. Malam dengan kecerdasannya lebih terkesan santai, sebab apa yang terdengar mudah saja ia cerna. Angin si adik kembarnya, begitu tekun dengan pemikiran dan kecerdasan yang tak sebanding dengan Malam, sang kakak.
“Malam, bangun.. Hari sudah siang. Segeralah mandi aku telah siapkan sarapan.” Suara Angin dari balik bilik dapur berlomba dengan gemeletuk dan gemeletak perkakas dapur.
Sementara itu, dengan langkah santai atau lebih tepatnya langkah gontai si Malam segera menuju Kamar Mandi. Satu koma tiga puluh detik kemudian terdengarlah siulan berfrekuensi 10000 Hertz itu, dari balik busa sabun dan gebyuran air. Sudah biasa, memekakkan telinga.
***
“Belum juga engkau sadari? Kasihan sekali dirimu ini, Dik.” Ucapan itu olokan, tapi Angin tetap tak mengubah air wajahnya.
“Aku sangat menyadari, bahkan selama ini aku tak pernah tidur oleh itu.” Dengan lembut Angin menimpali apa yang Malam katakan.
“Percuma saja bukan, kau tidak tidur hanya untuk memikirkannya tanpa hasil akhir yang konkret. Aku yakin kau tahu adikku, bahwa hidup ini bukan darimana kamu memulai tapi bagaimana kamu menjalaninya.” Santai namun senyum sinisnya yang membuat tangan tak kuasa terbuka dari kepalan.
“Aku tak tahu mengenai hal itu, dan aku memang tak ingin tahu. Aku hanya ingin memintamu untuk dapat memberiku sedikit bantuan dalam hal ini. Hanya kali ini saja, sebelumnya aku tak pernah meminta bantuanmu dan aku juga tidak akan meminta bantuanmu lagi setelah ini.” Angin masih berusaha keras membujuk Malam.
“Angin, aku adalah Malam dan kamu adalah Angin. Malam tak kan terasa dingin tanpa angin, bukan? Maka, bagaimana mungkin aku akan membiarkanmu menelusup sendiri dalam sendi-sendi kegelapan. Aku adalah Malam, akulah yang akan selalu mendampingi. Akulah yang akan menjadi bentengmu. Karena aku ini Kakakmu.”
Senyum lega Angin pun terulas kecil. Dia tak pernah menduga kakaknya akan luluh seperti susu seperti saat sekarang ini.
“Terima kasih, Kak.”
“Kau pasti sudah berpikir jelek dengan apa-apa yang sudah kukatakan padamu dari awal tadi. Maafkan aku, Angin. Aku hanya ingin melihat mentalmu, masihkah seperti dulu dan ternyata kau lebih.” Senyum lebar Malam semakin menentramkan Angin.
“Tapi sebenarnya apa yang kukatakan tadi adalah yang terjadi sebenarnya. Kau begini karena terlalu memikirkan bagaimana kamu nanti akan memulai hidupmu yang belum kamu tahu bagaimana. Kamu terlalu terpaku pada tumpukan buku di meja kecilmu itu.” Nasehat Malam.
“Aku baru menyadari hal itu. Dulu aku merasa sangat iri dengan kecerdasan yang kau miliki. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengimbanginya. Walaupun ternyata kau tak pernah memberi perlawanan berarti. Aku selalu menjadi juara pertama, dan kamu hanya juara dua. Tapi perjuanganku dan kau sangat tak sebanding. Aku tenggelam dalam tumpukan buku itu sementara kau sudah berenang dalam hidup yang sesungguhnya. Aku sangat menyesali itu.” Lemah namun seperti tanpa gaya gesek saja kata-kata itu terlontar.
Pertemuan yang sudah sebelumnya tak pernah disangka Angin itu ternyata membawa angin segar dalam hidupnya. Malam setahun lalu pergi tak tahu kemana setelah lulus S-1 sementara dia memilih melanjutkan program S-2-nya.Malam ini mereka bertemu dalam malam yang berangin dingin. Persis saat dua puluh tujuh tahun lalu.
Dua puluh tujuh tahun lalu nyawa pahlawan kehidupan mereka meregang nyawa. Dalam suasana yang sangat tidak menguntungkan, malam yang disertai badai. Sementara wanita itu meregang nyawa untuk mereka, Ayah mereka di tengah badai diterjang angin begitu kencang. Benar-benar malam yang menakutkan. Begitu menurut cerita yang dibawakan oleh nenek Angin dan Malam di kala mereka sedang menjelang terlelap.
(Terinspirasi dari arti melihat hhidupbukan secara kontekstual, tapi praktikal. Tidak harus yang tinggi membaca yang harus hebat, orang yang berbakat dan tekadlah yang punya dunia)
“Malam, bangun.. Hari sudah siang. Segeralah mandi aku telah siapkan sarapan.” Suara Angin dari balik bilik dapur berlomba dengan gemeletuk dan gemeletak perkakas dapur.
Sementara itu, dengan langkah santai atau lebih tepatnya langkah gontai si Malam segera menuju Kamar Mandi. Satu koma tiga puluh detik kemudian terdengarlah siulan berfrekuensi 10000 Hertz itu, dari balik busa sabun dan gebyuran air. Sudah biasa, memekakkan telinga.
***
“Belum juga engkau sadari? Kasihan sekali dirimu ini, Dik.” Ucapan itu olokan, tapi Angin tetap tak mengubah air wajahnya.
“Aku sangat menyadari, bahkan selama ini aku tak pernah tidur oleh itu.” Dengan lembut Angin menimpali apa yang Malam katakan.
“Percuma saja bukan, kau tidak tidur hanya untuk memikirkannya tanpa hasil akhir yang konkret. Aku yakin kau tahu adikku, bahwa hidup ini bukan darimana kamu memulai tapi bagaimana kamu menjalaninya.” Santai namun senyum sinisnya yang membuat tangan tak kuasa terbuka dari kepalan.
“Aku tak tahu mengenai hal itu, dan aku memang tak ingin tahu. Aku hanya ingin memintamu untuk dapat memberiku sedikit bantuan dalam hal ini. Hanya kali ini saja, sebelumnya aku tak pernah meminta bantuanmu dan aku juga tidak akan meminta bantuanmu lagi setelah ini.” Angin masih berusaha keras membujuk Malam.
“Angin, aku adalah Malam dan kamu adalah Angin. Malam tak kan terasa dingin tanpa angin, bukan? Maka, bagaimana mungkin aku akan membiarkanmu menelusup sendiri dalam sendi-sendi kegelapan. Aku adalah Malam, akulah yang akan selalu mendampingi. Akulah yang akan menjadi bentengmu. Karena aku ini Kakakmu.”
Senyum lega Angin pun terulas kecil. Dia tak pernah menduga kakaknya akan luluh seperti susu seperti saat sekarang ini.
“Terima kasih, Kak.”
“Kau pasti sudah berpikir jelek dengan apa-apa yang sudah kukatakan padamu dari awal tadi. Maafkan aku, Angin. Aku hanya ingin melihat mentalmu, masihkah seperti dulu dan ternyata kau lebih.” Senyum lebar Malam semakin menentramkan Angin.
“Tapi sebenarnya apa yang kukatakan tadi adalah yang terjadi sebenarnya. Kau begini karena terlalu memikirkan bagaimana kamu nanti akan memulai hidupmu yang belum kamu tahu bagaimana. Kamu terlalu terpaku pada tumpukan buku di meja kecilmu itu.” Nasehat Malam.
“Aku baru menyadari hal itu. Dulu aku merasa sangat iri dengan kecerdasan yang kau miliki. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengimbanginya. Walaupun ternyata kau tak pernah memberi perlawanan berarti. Aku selalu menjadi juara pertama, dan kamu hanya juara dua. Tapi perjuanganku dan kau sangat tak sebanding. Aku tenggelam dalam tumpukan buku itu sementara kau sudah berenang dalam hidup yang sesungguhnya. Aku sangat menyesali itu.” Lemah namun seperti tanpa gaya gesek saja kata-kata itu terlontar.
Pertemuan yang sudah sebelumnya tak pernah disangka Angin itu ternyata membawa angin segar dalam hidupnya. Malam setahun lalu pergi tak tahu kemana setelah lulus S-1 sementara dia memilih melanjutkan program S-2-nya.Malam ini mereka bertemu dalam malam yang berangin dingin. Persis saat dua puluh tujuh tahun lalu.
Dua puluh tujuh tahun lalu nyawa pahlawan kehidupan mereka meregang nyawa. Dalam suasana yang sangat tidak menguntungkan, malam yang disertai badai. Sementara wanita itu meregang nyawa untuk mereka, Ayah mereka di tengah badai diterjang angin begitu kencang. Benar-benar malam yang menakutkan. Begitu menurut cerita yang dibawakan oleh nenek Angin dan Malam di kala mereka sedang menjelang terlelap.
(Terinspirasi dari arti melihat hhidupbukan secara kontekstual, tapi praktikal. Tidak harus yang tinggi membaca yang harus hebat, orang yang berbakat dan tekadlah yang punya dunia)
Langganan:
Postingan (Atom)